Sukuk vs Eurobonds

>> Kamis, 20 November 2008

Sukuk vs Eurobonds




Read more...

Ekonomi Syariah Solusi Krisis Finansial

>> Selasa, 04 November 2008

Oleh:
ARMIN NASUTION
http://agustianto.niriah.com/

TULISAN ini tentu saja merupakan sambungan pekan lalu. Sejak krisis finansial melanda Amerika, Eropa sampai ke Asia ditandai dengan jatuhnya bursa saham dan fluktuasi nilai tukar, para pelaku ekonomi syariah seperti bersorak.

Mereka beralasan inilah bukti sistem kapitalisme barat dan ekonomi liberal yang dipaksakan tak mampu bertahan. Buktinya hingga kini ekonomi Timur Tengah tak tersentuh krisis. Sehebat apa pun krisis melanda dunia, Timur Tengah yang kerap mengedepankan syariah tak tersentuh.

Mereka tenang-tenang saja. Wajar kalau kemudian para praktisi, ekonom syariah di dalam negeri seperti ingin menegaskan sekaranglah saatnya sistem ekonomi ini menjadi solusi.

Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dalam kolomnya di Niriah.com secara tegas menyatakan momen kebangkitan syariah. Apalagi, kata dia, sistem keuangan dan perbankan Islam mempuyai keunggulan yang lebih baik berbanding sistem keuangan Barat yang berasaskan riba.

Aktivitas riba para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain. Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riil.

Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang mengandung riba, termasuk transaksi-transaksi maya di pasar uang. Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan, disebabkan fungsi uang bukan lagi sekadar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian miliaran dolar AS.

Dia mengungkapkan perekonomian saat ini digelembungkan oleh transaksi maya yang dilakukan oleh segelintir orang di beberapa kota dunia, seperti London (27 persen), Tokyo-Hong Kong-Singapura (25 persen) dan Chicago-New York (17 persen). Kekuatan pasar uang ini sangat besar dibandingkan kekuatan perekonomian dunia secara keseluruhan. Perekonomian global praktis ditentukan oleh perilaku lima negara tersebut.

Karena itu, Islam menolak keras segala jenis transaksi maya seperti yang terjadi di pasar uang saat ini. Sekali lagi ditegaskan uang bukan komoditas. Praktik penggandaan uang dan spekulasi dilarang. Sebaliknya, Islam mendorong globalisasi dalam arti mengembangkan perdagangan internasional.

Dalam ekonomi Islam, globalisasi merupakan bagian integral dari konsep universal Islam. Rasulullah telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja. Ketika berusia belasan tahun, dia telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman, dan beberapa negara di kawasan Teluk sekarang.

Sejak awal kekuasaannya, umat Islam menjalin kontak bisnis dengan China, India, Persia dan Romawi. Bahkan hanya dua abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai Eropa Utara. Ternyata nilai-nilai ekonomi syariah selalu aktual dan terbukti dapat menjadi solusi terhadap resesi perekonomian.

Di zaman Nabi Muhammad jarang sekali terjadi resesi. Zaman khalifah yang empat juga begitu. Pernah sekali Nabi mengalami defisit, yaitu sebelum Perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang. Di zaman Umar bin Khattab (khalifah kedua) dan Utsman (khalifah ketiga) , malah APBN mengalami surplus. Pernah dalam zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tak dijumpai lagi satu orang miskinpun.

Apa rahasianya? Kebijakan moneter Rasulullah SAW -yang kemudian diikuti oleh para khalifah- selalu terkait dengan sektor riil perekonomian berupa perdagangan. Hasilnya adalah pertumbuhan sekaligus stabilitas.

Pengaitan sektor moneter dengan sektor riil merupakan obat mujarab untuk mengatasi gejolak kurs mata uang - seperti yang melanda Indonesia sejak 1997 sampai saat ini. Perekonomian yang mengaitkan sektor moneter langsung dengan sektor riil akan membuat kurs mata uang stabil. Inilah yang dijalankan bank-bank Islam dewasa ini, dimana setiap pembiayaan harus ada underline transaction-nya. Tidak seperti bank konvensional yang menerapkan sistem ribawi.

Tantangan umat Islam dewasa ini adalah menunjukkan keagungan dan keampuhan ekonomi syariah. Tidak hanya bagi masyarakat muslim, melainkan juga bagi masyarakat non muslim, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia international. Islam ternyata mewariskan sistem perekonomian yang tepat, fair, adil, manusiawi, untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan hidup, tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Read more...

Obligasi Syariah

Oleh:
Ach. Bakhrul Muchtasib
http://www.pkes.org/

Dalam perdagangan obligasi syariah tidak boleh diterapkan harga diskon atau harga premium yang lazim dilakukan oleh obligasi konvensional. Prinsip transaksi obligasi syariah adalah transfer service atau pengalihan piutang dengan tanggungan bagi hasil, sehingga jual beli obligasi syariah hanya boleh pada harga nominal pelunasan jatuh tempo obligasi.

Merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional – Majlis Ulama Indonesia, Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Penerapan obligasi syariah menggunakan akad antara lain; akad musyarakah, mudharabah, murabahah, salam, istisna, dan ijarah. Emiten adalah mudharib sedang pemegang obligasi adalah shahibul mal (investor). Bagi emiten tidak diperbolehkan melakukan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Untuk menerbitkan obligasi syariah, harus memenuhi beberapa persyaratan:

Pertama, aktivitas utama (core business) yang halal, sesuai yang telah digariskan oleh DSN-MUI, yaitu (i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.

Kedua, peringkat investment grade: (i) memiliki fundamental usaha yang kuat; (ii) memiliki fundamental keuangan yang kuat; (iii) memiliki citra yang baik bagi publik.
Untuk menghindarkan bentuk pendanaan (financing) dan investasi (investment) yang berkenaan dengan riba, obligasi syariah dapat memberikan:
a. Prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah. Karena akad mudharabah/musyarakah merupakan bentuk kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
b. Prinsip margin/fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istisna atau ijarah. Dengan akad-akad tersebut sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.

Di Indonesia penerbitan obligasi syariah umumnya menggunakan akad mudharabah. Prinsip-prinsip pokok dalam mekanisme penerbitan obligasi syariah dapat di lihat pada hal-hal sebagai berikut:
1. Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan.
2. Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA).
3. Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.
4. Pendapatan bagi hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten pada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
5. Pembagian hasil pendapatan ini keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan).
6. Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.

Landasan Dasar Obligasi Syariah
1. Firman Allah Swt:
Al-Baqarah ayat 275
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...”

Al-Mujamil ayat 20
“Dan sebagian mereka berjalan di muka bumi mencari karunia Allah”

2. Sabda Nabi Muhammad Saw:
“Abu Rafi’i r.a., meriwayatkan bahwasannya Nabi Muhammad Saw pernah meminjam seekor unta betina yang masih kecil dari seorang sahabat. Lalu (kata Abu Rafi’i) aku sampakan kepadanya tentang waktu pembayaran hutangnya. Dan Rasulullah pun memerintahkan Abu Rafi’i untuk segera membayarkan hutang Nabi itu unta yang sepadan dengan yang dipinjamnya. Abu Rafi’i mengatakan: aku tidak menemukan unta kecuali untuk yang cukup besar dan sangat bagus. Maka Rasulullah Saw bersabda: berikanlah unta yang bagus itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik membayar hutangnya”. (HR. Imam Muslim)
“Tiga bentuk usaha yang di dalamnya mengandung barakah: yaitu jual-beli secara tangguh, mudharabah/kerja sama dalam bagi hasil dan mencampur gandum dengan kedelai (hasil keringat sendiri) untuk kepentingan keluarga bukan untuk di jual. (HR. Ibnu Majah)
Abi Darda r.a., “Sungguh jika aku dipinjami dua dinar emas, lalu dibayarkan kembali (kepadaku). Kemudian aku meminjam lagi (kepada orang lain) niscaya aku lebih mencintai meminjamkannya dari pada aku mensedekahkannya. Karena meminjamkan itu dapat memberi kemudahan kepada saudara semuslim serta dapat memenuhi/menolong kebutuhannya. Meminjamkan itu sunnah seperti sedekah, namun ia tidak wajib”.

3. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No: 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Obligasi Syariah.

Perbedaan Obligasi Syariah dan Obligasi Konvensional

Secara prinsipil perbedaaan antara obligasi syariah dan obligasi konvensional seperti halnya bisnis syariah lainnya, dimana prinsip-prinsip syariah menjadi acuan dasar yang harus diikuti. Diantaranya perbedaan tersebut dapat diketahui; pertama, dari sisi orientasi, obligasi konvensional hanya memperhitungkan keuntungannya semata. Tidak demikian bagi obligasi syariah, disamping memperhatikan keuntungan, obligasi syariah harus memperhatikan pula sisi halal-haram, artinya disetiap investasi yang ditanamkan dalam obligasi harus pada produk-produk yang sesuai dengan prinsip syariah.

Kedua, obligasi konvensional, keuntungannya di dapat dari besaran bunga yang ditetapkan, sedangkan obligasi syariah keuntungan akan diterima dari besarnya margin/fee yang ditetapkan ataupun dengan sistem bagi hasil yang didasarkan atas asset dan produksi.

Ketiga, obligasi syariah disetiap transaksinya ditetapkan berdasarkan akad. Diantaranya adalah akad mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisna dan ijarah. Dana yang dihimpun tidak dapat diinvestasikan ke pasar uang dan atau spekulasi di lantai bursa. Sedangkan untuk obligasi konvensional tidak terdapat akad di setiap transaksinya.
Secara jelas aturan bagi investasi ke dalam bentuk obligasi syariah tidak dibenarkan kepada transaksi yang dilarang, baik investasi tersebut pada barang yang bersifat subhat ataupun makruh. Tidak dibenarkan jika bentuk investasi tersebut pada perusahaan yang telah memproduksi barang-barang yang dilarang, misalnya, perusahaan yang memproduksi minuman keras, atau perusahaan yang memproduksi rokok yang dimakruhkan. Wallahua’lam bishawab!

Read more...

Perlukah Kartu Kredit Syariah?

Oleh: Ach. Bakhrul Muchtasib
http://www.pkes.org/

Fasilitas penggunaan kartu kredit syariah merupakan bagian dari pengembangan produk yang dilakukan perbankan syariah untuk menjaring para nasabah, sekaligus memberikan pelayanan kepada nasabah dengan lebih maksimal. Penerbitan kartu kredit syariah, yang semakin menambah variasi produk perbankan syariah, diharapkan dapat memberikan kemudahan dan memberikan keamanan dalam transaksi. Ke depan diharapkan bank syariah akan lebih berkembang dan mampu bersaing dengan bank-bank konvensional sebagai kompetitornya. Pada giliran berikutnya mampu menggantikan posisi kartu kredit yang berkembang pada bank konvensional, yang secara nyata melakukan proses transaksi dengan sistem ribawi (pengambilan keuntungan dengan mengenakan bunga).




Sebagian kalangan pelaku bank syariah menyangsikan kartu kredit syariah tersebut. Karena, dimungkinkan akan mendorong masyarakat nasabah bank syariah terjebak pada budaya konsumerisme, seperti yang terjadi pada bank konvensional. Dikhawatirkan, nantinya, nasabah bank syariah terlena dengan kemudahan fasilitas yang diberikan dalam hal berbelanja tanpa berhitung pada kebutuhan yang sebenarnya.

Seperti yang pernah terjadi, penerbitan kartu kredit syariah berpotensi menciptakan dan menyebabkan peningkatan pada rasio pembiayaan bermasalah (NPF). Dimungkinkan menurunkan citra positif bank syariah yang selama ini memiliki pembiayaan bermasalah yang masih dibawah 5% (yang berkategori bagus).

Melihat pengalaman yang pernah terjadi pada bank konvensional, dari seluruh kartu kredit yang tersebar, 70% di antaranya merupakan kartu kredit yang bermasalah. Tidak sedikit dari pemegang kartu kredit mengalami keterlambatan pembayaran atas tagihan. Akhirnya, mereka harus menanggung beban denda bunga kredit yang cukup tinggi. Semakin lama beban tagihan dan beban bunga akan semakin membengkak jika tidak segera dilunasi. Penambahan beban bunga yang semakin besar dapat mengakibatkan ketidakmampuan nasabah pemegang kartu kredit untuk melunasi tagihannya.

Untuk mengatasi permasalahan yang muncul akibat minimnya pencegahan dalam bertransaksi secara berlebih, bank syariah sebagai penerbit kartu kredit syariah, harus mampu melakukan pencegahan atau pun membatasi nafsu berbelanja nasabah dengan memberikan batasan maksimal dalam belanja, disesuaikan dengan besarnya gaji/pendapatan nasabah. Bank syariah pun harus selektif di dalam memberikan kartu kreditnya kepada nasabah, sebagai tindakan kehati-hatian. Nasabah yang berhak mendapatkan kartu kredit syariah hanya mereka yang memiliki kemampuan secara finansial dan kejujuran.

Menurut Ma’ruf Amin, Ketua DSN-MUI, untuk mencegah terjadinya budaya konsumerisme pada masyarakat pemegang kartu kredit syariah, dengan mewajibkan pemegang kartu untuk menitipkan sebagian dana mereka sebagai collateral cash di bank syariah penerbit kartu. Ditambah jumlah plafond pembiayaan pemegang kartu yang harus disesuaikan dengan besarnya jumlah pendapatan yang dimiliki (Republika, 1 Febuari 2007).

Sesuai dengan usulan sebagian anggota DSN, besarnya collateral cash dapat ditentukan dengan kisaran nilai sebesar 20% dari plafond kartu kredit. Nilai collateral cash ini diyakini cukup efektif untuk mengendalikan perilaku konsumtif. Atas usulan ini, Harisman, mantan Direktur Direktorat Perbankan Syariah-BI, menyambut baik. Menurut Harisman, saat ini meski tidak sebesar 20%, namun Bank Indonesia tetap menganjurkan ada deposit dari sisi pemakai kartu kredit.

Kendati begitu, hal itu tidak sepenuhnya dapat diyakini mampu mencegah perilaku konsumtif masyarakat. Pada praktiknya nanti, beredarnya kartu kredit syariah tidak akan berbeda dengan kartu kredit konvensional. Proses transaksi yang dilakukan pemegang kartu dengan merchant pun tidak berbeda. Kecuali bank syariah, sebagai pihak penerbit, segera menutup transaksi yang melebihi batas maksimal dari besarnya plafond yang dimiliki pihak pemegang kartu. Di sisi lain, kondisi ini akan dihadapkan pada persoalan ketertarikan nasabah sebagai konsumen terhadap kartu kredit syariah. Permasalahan timbul dengan persaingan yang akan dihadapi bank syariah pada bank konvensional yang memberikan kemudahan syarat-syarat dan kebebasan transaksi.

Terlepas dari bagaimana penerapannya dan seperti apa ketentuan yang diterapkan, setelah beberapa bulan difatwakan, kartu kredit syariah belum juga beredar di pasaran. Respon dari bank syariahpun masih timbul tenggelam. Baru Danamon Syariah yang menyatakan siap meluncurkan kartu kredit syariah. Tahap awal penertiban, menurut direktur usaha syariah, Hendarin Sukarmadji, mentargetkan 15-20 ribu kartu. Bahkan, Bank Muamalat Indonesia melalui direkturnya, U. Syaifuddin Noer, menyatakan tidak akan menerbitkan kartu kredit syariah, karena, dianggap akan menjadikan masyarakat lebih konsumtif.

Penerbitan fatwa kartu kredit syariah seharusnya tidak hanya didasarkan atas halal atau tidaknya dari sisi syariah, tetapi, juga harus memperhatikan bagaimana manfaat dan kegunaannya serta efek sosialnya bagi masyarakat. Jadi, bagi masyarakat nasabah bank syariah, selain diarahkan untuk berperilaku ekonomi secara syariah, harus juga dididik menentukan skala prioritas yang menjadi kebutuhan mendasar bagi kelayakan kehiidupannya. Jika dirasakan kartu kredit syariah bukan merupakan kebutuhan yang cukup mendesak dan penting, tentunya tidak harus diupayakan secara maksimal dalam pengembangannya.

Penempatan masalah dari kartu kredit syariah ini dapat dipilah-pilah dan ditentukan sebagai produk bank syariah sesuai dengan tingkat kebutuhan bank syariah terhadap kartu tersebut dan kebutuhan masyarakat dalam menggunakan kartu kredit syariah di setiap transaksi mereka. Jika kartu kredit syariah hanya merupakan kebutuhan pelengkap dan tidak urgent sebagai alat transaksi atau, bahkan, akan menimbulkan mudharat, lebih baik produk operasional bank syariah yang menggunakan kartu hanya pada kartu debit atau kartu lain yanng tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Wallahua’lam bi shawab.

Read more...

POSISI EKONOMI ISLAM DI ANTARA EKONOMI KONVENSIONAL DAN FIQH MUAMALAT(Kritik Epistemologis Terhadap Ilmu Ekonomi Islam)

>> Sabtu, 25 Oktober 2008

Oleh
Saleh Partaonan Daulay, M.Ag., M.Hum

Solusi Alternatif dalam Membangun Ilmu Ekonomi Islam
Perbedaan mendasar antara disiplin ilmu ekonomi konvensional dan fiqh mu’amalat mengharuskan adanya pemikiran untuk mensinergikan keduanya ke dalam satu disiplin ilmu. Kemungkinan yang terjadi adalah terjadinya redefinisi terhadap ilmu ekonomi, dimana materi bahasan dalam ilmu ekonomi akan bertambah dengan adanya materi dari ilmu fiqh mu’amalat, ataupun akan berkurang dengan adanya pembatasan materi tertentu yang dianggap tidak relevan dengan syari’ah. Contoh dalam hal ini adalah pembahasan mengenai teori tingkah laku konsumen (consumer behavior) yang dibatasi dengan asumsi syari’ah tentang larangan komoditas dan jasa non-halal, atau teori produksi (production theory) yang ditambah dengan asumsi bahwa modal sebagai faktor produksi yang tidak memasukkan uang di dalamnya.

Kemungkinan kedua adalah terjadinya redefinisi terhadap fiqh mu’amalat dimana materi bahasannya bertambah dengan analisa hokum terhadap berbagai konsep ekonomi modern seperti time value of money, instrumen pasar modal atau transaksi di pasar valuta asing. Untuk memberi penilaian terhadap konsep-konsep tersebut diperlukan pemahaman mendasar asal-usul dan hubungannya dengan ekonomi secara keseluruhan .
Kecenderungan ini akan berpengaruh luas kepada produk-produk aplikasi dari kedua ilmu tersebut di atas. Jika ilmu ekonomi mengalami redefinisi, maka produk-produknya pun akan mengalami redefinisi pula. Mengikuti kemungkinan pertama, misalnya, produk ekonomi mikro seperti regressi permintaan akan komoditas umum akan mengalami redefinisi dengan mengeluarkan indeks barang yang tidak sesuai syariah. Dalam ekonomi makro juga demikian, misalnya indeks harga konsumen (consumer price index – CPI) yang digunakan sebagai pembagi dalam penghitungan inflasi juga mengalami perubahan dengan mengeluarkan komoditas yang diasumsikan oleh syari’ah tidak dikonsumsi. Akibat dari hal ini, akan terjadi bias dalam beberapa indikator. Dengan kata lain, akkan terjadi perbedaan dalam berbagai indikator ekonomi. Misalnya, inflasi yang dihitung menurut CPI biasa akan berbeda dengan tingkat inflasi yang dihitung dengan menggunakan asumsi-asumsi syariah. Demikian pula prediksi tingkat pengangguran (unemployment), pertumbuhan (growth), pendapatan nasional (national income) atau lainnya. Jika fiqh mu’amalat yang mengalami redefinisi, maka ia harus ditulis ulang dengan menambahkan sejumlah konsep ekonomi yang baru dan belum mendapat penilaian hukum pada kitab fiqh klasik .
Redefinisi terhadap fiqh mu’amalat sama artinya dengan proses Islamisasi ilmu-ilmu yang dipelopori oleh Ismail Raji al-Faruqi. Islamisasi pengetahuan berarti merestorasi kembali fungsi wahyu untuk didudukkan sejajar dengan akal dan pengalaman manusia sebagai sumber pengetahuan . Salah satu percobaan awal dalam bidang ini adalah apa yang disebut unified approach to shari’ah an social inference (pendekatan untuk menyatukan ilmu syari’ah dengan ilmu-ilmu sosial.
Akhir-akhir ini, penyatuan antara ilmu syari’ah dengan ilmu-ilmu sosial merupakan wacana yang cukup menarik minat para filosof muslim. Penolakan terhadap konsepsi ilmu positivistic yang berkembang pada awal abad ke-20 telah menimbulkan krisis spritual di kalangan ilmuwan. Kuatnya keyakinan aliran positivisme untuk menjadikan rasio sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan menyebabkan para penganutnya terjerumus ke lembah atheisme. Kekosongan spritual itu terjadi akibat ketidakyakinan mereka terhadap ranah metafisika. Padahal sejak awal, Islam telah memposisikan metafisika sebagai dasar dalam segala hal, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya dalam filsafat Islam, wahyu dijadikan sumber ilmu pengetahuan yang pertama sebelum sumber pengetahuan lainnya .
Secara umum, ada beberapa langkah yang harus diikuti dalam proses integrasi ilmu pengetahuan yaitu:
1. Analisis terhadap teks/fenomena hingga sampai kepada komponen-komponen dasarnya, yaitu pernyataan-pernyataan/tindakan-tindakan.
2. Pengelompokan pernyataan-pernyataan/tindakan-tindakan sejenis ke dalam satu kategori
3. Identifikasi peraturan-peraturan yang mengintegrasikan berbagai kategori.
4. Identifikasi aturan-aturan dan tujuan-tujuan umum yang menguasai interaksi dan interrelasi berbagai kategori.
5. Sistematisasi himpunan aturan yang diperoleh melalui prosedur-prosedur terlebih dahulu (yaitu dengan cara menghilangkan kontradiksi) .
Mencermati proses integrasi yang disebutkan di atas, maka jurusan ilmu ekonomi Islam perlu ditempatkan kepada fakultas yang lebih sesuai. Menurut penulis, bila kemungkinan pertama yang dipilih (redefinisi ilmu ekonomi), maka jurusan ilmu ekonomi Islam sebaiknya ditempatkan di fakultas ekonomi. Tetapi sebaliknya, bila kemungkinan kedua yang dipilih (redefinisi fiqh mu’amalat), maka jurusan ilmu ekonomi Islam lebih tepat dimasukkan ke dalam fakultas syari’ah.
Namun bagaimanapun juga, porsi ilmu ekonomi dan porsi fiqh mu’amalat harus seimbang dan menjadikannya sebagai mata kuliah inti (mata kuliah keahlian). Tujuannya adalah agar para sarjana yang dihasilkan menguasai materi ilmu ekonomi secara mapan sekaligus dapat menentukan justifikasi hukum terhadap prilaku ekonomi yang sedang dilakukannya. Dengan cara demikian, alumni jurusan ekonomi Islam akan mampu bersaing dengan alumni jurusan ilmu ekonomi dari berbagai perguruan tinggi non-Islam lainnya.
Penutup
Perkembangan jurusan ilmu ekonomi Islam merupakan langkah antisipatif yang harus dilakukan oleh IAIN sebagai institusi pendidikan yang bergerak dalam bidang sosial keagamaan. Namun untuk melakukan hal itu perlu diperhatikan beberapa problem epistemologis yang menjadi ganjalannya. Pembenahan landasan epistemologis itu harus diorientasikan kepada pemberdayaan civitas akademika yang terlibat secara langsung di dalam pengembangan ilmu tersebut.
Sejalan dengan dinamika ilmu pengetahuan yang terus ber-evolusi, disiplin ilmu ini akan tercipta dan mendapatkan jalannya sendiri. Untuk menfasilitasi hal tersebut perlu dihindarkan dikotomi antara ilmu ekonomi konvensional dengan fiqh mu’amalat. Bahkan lebih jauh dari itu, perlu dilakukan upaya-upaya konkrit untuk mengintegrasikan keduanya. Semakin kuat integrasi yang dihasilkan akan semakin memperkokoh eksistensi ilmu ekonomi Islam sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Penulis adalah aktivis PP. Pemuda Muhammadiyah dan Direktur Program Maarif Institute dan juga dosen IAIN Raden Fatah Palembang.
Bibliografi
Ahmad, Khursid, “Economic Development in Islamic Framework”, dalam Khursid Ahmad (Ed.), Studies in Islamic Economics, (Leicester: The Islamic Foundation, 1980).
Anwar, Syamsul, Mencari Akar Epistemologis Ilmu-ilmu Syariah, makalah disampaikan pada semiloka Pemetaan Studi Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Jakarta tanggal 25 Oktober 2002.
Audi, Robert, Epistemology: A Contemporary Introduction to The Theory of Knowledge (London: Routledge, 1998).
Behechti & Bahanor, Philosophy of Islam (Pakistan: Islamic Seminary of Pakistan, 1990).
Budiyanto, Irmayanti, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu Refleksi Terhadap Ciri dan Cara Kerja Ilmu Pengetahuan, makalah disampaikan pada ceramah untuk peserta program pascasarjana UI tanggal 31 Mei 1999.
Couvalis, George, The Philosophy of Science, (London: Sage Publications, tanpa tahun).
Eliade, Mircea, The Encyclopedia of Islam: An Islamic Version of The Encyclopedia of Religion (New York: MacMillan Publishing Company, 1987).
Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (Washington: International Institute of Islamic Thought, 1982).
Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, (Kairo: Syirkah al-Tiba’ah al-Fanniyah al-Muttahidah, 1971).
Hakim, Cecep Maskanul, Mu’amalat (Ekonomi Islam): Sebuah Problem Epistemologis dan Aksiologis, makalah disampaikan pada semiloka Pemetaan Studi Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Jakarta tanggal 25 Oktober 2002.
Ibrahim, Anwar, Mu’amalat (Ekonomi Islam) Sebuah Problem Epistemologis dan Aksiologis, makalah disampaikan pada semiloka Pemetaan Studi Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Jakarta tanggal 25 Oktober 2002.
Jones, Richard, Introduction to the Theory of Economics, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1975).
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1999).
Khan, Fahim, The Theory of Capital in Islam, (Malaysia: Islamic Research Institute, 1996).
Meera, Ahmed Kameel Meydin, The Islamic Gold Dinar, (Kuala Lumpur: Pelanduk, 2002).
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998).
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun).

Read more...

  © Blogger template Inspiration by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP