Sektor Real yang (Tak Seharusnya) Terlupakan

>> Sabtu, 18 Oktober 2008

Oleh: H. Ateng Kusnadi, S.E., M.Si.
Sumber: http://ekisonline.com/
1. Pendahuluan

Diawali dengan lahirnya Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia pada 1992 dan dipacu dengan UU No 10 tahun 1998, perkembangan perbankan syariah di tanah air melaju semakin cepat. Perkembangan ekonomi syariah terus melaju diikuti oleh asuransi, reksadana, dan obligasi syariah di sektor moneter, sementara di sektor real muncul AHAD-Net dan Hotel Sofyan sebagai lembaga bisnis syariah. Keberhasilan ekonomi syariah tersebut tentunya perlu disyukuri dan dijadikan sebagai modal untuk lebih baik lagi di kemudian hari.
Keterpurukan ekonomi nasional mulai tahun 1997 yang diawali dengan merosotnya nilai rupiah diwarnai dengan porak porandanya bangunan perbankan konvensional. Hikmah dari keterpurukan itu adalah ketegaran perbankan nirbunga (non-interest banking) alias perbankan syariah terhadap ‘badai’ ekonomi tersebut. Berbagai fenomena dan kondisi itulah yang kemudian membuat konsep ekonomi syariah menjadi ‘gadis manis dan menarik’ yang dilirik para pelaku ekonomi konvensional. Maka bermunculanlah berbagai lembaga ekonomi syariah di tanah air.Pengamatan terhadap perkembangan ekonomi syariah tersebut menimbulkan dua sisi yang tampak kontradiktif: sisi positifnya adalah rasa syukur terhadap (kemungkinan) kebenaran ekonomi syariah yang dijalankan serta peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap ekonomi syariah; sedangkan sisi negatifnya adalah kekhawatiran dan kewaspadaan terhadap hal-hal yang dapat merugikan masyarakat, nilai-nilai aqidah dan perkembangan ekonomi syariah sendiri di kemudian hari.

Benarkah kepercayaan terhadap ekonomi syariah telah meningkat? Atau ekonomi syariah dijadikan para kapitalis untuk menunggangi rakyat yang semakin terjepit. Sudah benarkah ‘aqidah’ ekonomi syariah sesuai dengan paradigma atau aqidah yang dibawa oleh Rasulullah SAW dalam bermuamalah? Atau ekonomi syariah yang berjalan masih sekedar arabisasi istilah semata? Apakah perkembangan ekonomi syariah ini memang berkah untuk masa depan umat manusia? Atau ternyata justru dapat membawa musibah bagi kepentingan Islam itu sendiri?

Tidaklah mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mungkin sama sulitnya dengan mengurai benang kusut krisis multidimensi yang melanda negeri zamrud khatulistiwa ini. Namun tentunya hal ini seyogyanya justru mendorong nilai-nilai kejujuran (shiddiq dan amanah) serta kritis dan cerdas (fathanah) melihat diri sendiri dengan penuh tawadhu agar tidak terlena oleh fenomena kemasan dan kecepatsajian semata. Fenomena ini seringkali meninabobokan, mempesona dan membutakan mata, sehingga mengurangi kemampuan melihat permasalahan yang sebenarnya. Seringkali hanya gunung es yang ada di permukaan yang terlihat atau diperhatikan, namun tidak diketahui apakah gunung es itu hanya mengambang di permukaan atau menancap kokoh hingga ke dasar laut.

Keterpesonaan berbagai pihak yang terlibat di dalam ekonomi syariah ini menggelitik diamati, dikritisi dan dikaji demi tercapainya kemurnian dan perkembangan ekonomi syariah itu sendiri. Makalah ini bukan dimaksudkan untuk berdebat masalah fiqih perbankan syariah, melainkan dibuat untuk merenungkan bersama secara lebih komprehensif berbagai hal berkaitan dengan ekonomi syariah ini. Salah satu keterpesonaan yang menjadi bahasan utama makalah ini adalah keterpesonaan terhadap sektor moneter dengan, sedikit, pengabaian terhadap sektor real. Padahal, Al Quran menegaskan Allah menghalalkan jual beli (sektor real) dan mengharamkan riba (sektor moneter). Dan Rasulullah SAW pun menyampaikan sembilan dari sepuluh rizqi itu datangnya dari perniagaan (sektor real). Berarti sektor real lebih penting dan utama untuk diperhatikan daripada sektor moneter dan bukan sebaliknya, seperti yang kita lihat sekarang, sektor real diperas untuk membasahi sektor moneter yang memang menarik karena banyak uang di sana. Di sana tampak banyak uang yang melenakan. Jangan sampai terjadi perebutan gula yang memang terasa manis dan enak, sementara menanam tebu dan arennya dilupakan.

II. Paradigma Dasar yang Terlupakan

Berbicara mengenai ekonomi syariah, tidak cukup hanya melibatkan masalah-masalah yang bersifat kulit atau kemasan. Bahkan justru inti permasalahan dari syariat Islam haruslah dapat dipertanggungjawabkan daging atau isinya. Paradigma dasar yang digunakan sebagai landasan berpijak, berpikir dan bertindak (yang dalam hal ini dapat diterjemahkan sebagai aqidah) justru harus kita pegang teguh sesuai dengan nilai-nilai dasar yang BENAR menurut landasan Al Quran dan As-Sunnah. Al Quran sebagai wahyu tidak perlu diragukan lagi kebenarannya, apalagi Al Quran telah dijamin kebenarannya oleh Al Quran dan dinyatakan sempurna sebagai nikmat dan tatanan kehidupan, way of life. Demikian pula, Al Quran telah terbukti dapat diaplikasikan oleh manusia dengan contoh aplikasi luar biasa oleh seorang manusia ummi, Rasulullah SAW.

Delapan azas di bawah ini merupakan komponen dasar paradigma ekonomi syariah. Mungkin tidak semua dari delapan azas ini yang dilanggar dalam suatu praktek ekonomi syariah yang selama ini dilakukan oleh para praktisi ekonomi syariah, namun ada baiknya untuk direnungkan dan dipertimbangkan dengan jernih dan bijak.

1. Azas Non-MaGHRiB
Dalam banyak ayat di dalam Al Quranul Karim, Allah SWT yang menciptakan manusia mendorong makhluk-Nya yang bernama manusia ini untuk berpikir dan berpikir. Dengan menggunakan kata-kata yang berbeda, dapat dicerna pula bahwa Allah SWT juga menyuruh umat manusia untuk melakukan aktivitas berpikir yang berbeda: merenungkan, memahami, memperbandingkan, menganalogikan (mengibaratkan/mengumpamakan), meneliti, melihat (secara fisik maupun abstrak), serta yang paling penting dan seringkali dilupakan atau ditinggalkan oleh kebanyakan orang: mengimani.

Berkaitan dengan permasalahan muamalah, dalam banyak ayat pula, Allah SWT melarang kita untuk melakukan riba . Sebenarnya untuk masalah muamalah ini, Allah begitu banyak memberikan keringanan sehingga ushul fiqh mengatakan bahwa untuk masalah muamalah ini: ”Semuanya adalah boleh dilakukan, kecuali yang dilarang.” Padahal untuk masalah ibadah, “Semuanya tidak boleh, kecuali yang diperintahkan.”

Salah satu pegangan ushul fiqh di atas, tentunya membuka kreativitas umat sepanjang tidak bertentangan dengan apa-apa yang dilarang oleh Allah SWT. Apa saja yang dilarang oleh Allah SWT? Pada dasarnya dapat disingkat dengan kata MaGHRiB.
“Ma” adalah singkatan dari maysir, alias judi atau sifat spekulatif dalam bermuamalah. “G” adalah singkatan dari gharar, alias rusak, fiktif atau semu. Artinya transaksi yang barangnya tidak jelas, seperti bursa komoditas, transaksi forward dan berbagai derivasinya, tidak boleh dilakukan. “H” merupakan singkatan dari haram, artinya kita tidak boleh melakukan transaksi, distribusi atau produksi barang-barang yang haram. “Ri” adalah riba. Dalam ayat di atas, jelaslah betapa Allah melarang riba dan menghalalkan jual beli. “B” adalah singkatan dari bathil. Artinya usaha atau muamalah tidak boleh dilakukan dengan jalan yang bathil seperti mengurangi timbangan, mencampurkan barang rusak di antara barang yang baik untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak, menimbun barang, menipu atau memaksa.

Jadi Azas Non-MaGHRiB ini adalah akar landasan kebanyakan syariat (hukum-hukum) dalam bermuamalah secara islami. Salah satu saja dilanggar, dapat menyebabkan rusaknya muamalah, hilangnya ridha dan keberkahan, serta kerugian besar di dunia maupun akhirat. Wallahu a’lam bish-shawab.

2. Azas Nilai Tambah
Nilai tambah merupakan suatu yang motif dalam berusaha atau berbisnis, sehingga bukan merupakan hal yang harus dihindari melainkan untuk diluruskan. Nilai tambah seperti apa yang diperbolehkan dan nilai tambah seperti apa yang tidak boleh dilakukan. Riba adalah nilai tambah yang tidak diperkenankan, sedangkan nilai tambah atau laba melalui suatu jual beli dihalalkan oleh Allah SWT .

Pengubahan akad jual beli mobil dari konsumen ke dealer menjadi konsumen ke bank dan bank ke dealer agar tambahan harganya tidak disebut bunga/riba, perlu dipertimbangkan dan direnungkan kembali, apakah upaya seperti itu memang merupakan kebenaran (sesuai tuntunan dan tuntutan syar’i) atau hanya merupakan suatu pembenaran agar memenuhi definisi yang ditetapkan oleh manusia itu sendiri. Kalau memang sudah sesuai syar’i, alhamdulillah, berarti tinggal diperbaiki dampak dan nilai-nilai produktivitasnya saja agar tidak menjadi pemborosan.

Hal lain yang perlu direnungkan juga adalah ternyata marjin keuntungan yang diambil oleh bank ‘syariah’ yang bertindak sebagai perantara tersebut ternyata lebih besar daripada bunga yang dikenakan oleh perusahaan leasing atau bank konvensional. Di samping itu, bukankah sesungguhnya memang bank sejak semula tidak ada maksud dan motif usaha untuk jual beli mobil, rumah atau apa pun barangnya?

Jadi ketika nilai tambah itu coba dilakukan di sektor moneter (dalam hal ini bank ‘syariah’), maka hal seperti tersebut di atas akan sulit dihindari dan dapat membuat kita terjebak dalam riba yang dimodifikasi. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut, maka kredit (atau ‘disyariahkan’ dengan istilah pembiayaan) yang bersifat konsumtif memang harus dihapuskan dari transaksi perbankan syariah. Hal ini berarti juga mencakup kartu kredit (yang tidak mungkin menjadi syariah bila digunakan untuk tujuan konsumtif).

Sebagai contoh, bila ada konsumen ingin membeli motor, mobil atau rumah, maka konsumen tersebut harus dari awal berniat untuk menggunakan motor, mobil atau rumah tersebut untuk tujuan produktif. Misalnya motor/mobil digunakan untuk ojek/angkutan umum, usaha antar surat/barang atau jualan keliling; rumah yang dapat dibiayai adalah rumah untuk toko atau usaha lainnya.

Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa dengan tujuan produktif, maka ada nilai tambah yang akan dibagihasilkan. Hal ini perlu disadari benar agar kemalasan, keengganan atau kekurangcerdasan para pelaku ekonomi syariah menyebabkan terjadinya transaksi yang tidak diridhai oleh Allah SWT. Pemenuhan syariat ini kelihatannya memang lebih merepotkan, namun sebenarnya dapat lebih menguntungkan. Bila menggunakan metoda bunga (konvensional) atau transaksi akal-akalan konsumen-bank-dealer/developer, maka marjin dibatasi oleh kelaziman tingkat bunga nasional, sehingga profit margin-nya lebih tipis. Namun bila menggunakan metoda bagi hasil di sektor real yang jelas, maka justru keuntungan yang diraih berpeluang lebih besar. Memang dalam pola seperti ini terdapat ketidakpastian yang lebih besar, memerlukan pengawasan yang lebih baik, serta perlunya tingkat kesadaran dan kejujuran para pelaku ekonomi syariah itu sendiri. Di sinilah letak menariknya, karena akhirnya dapat dilihat bahwa aqidah, akhlaq dan muamalah itu tidak dapat dipisahkan. Udkhulu fissilmi kaffah. Masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh. Islam bukan sekedar ritual shalat dan fiqih syahadat-shalat-shaum-zakat-haji, melainkan way of life yang sempurna untuk umat manusia. Inilah kesempatan untuk menunjukkan Islam sebagai rahmatan lil ’alamin. Azas Nilai Tambah harus diterapkan di sektor real, bukan sektor moneter. Dan sektor real yang harus dibangun adalah sektor real yang bersifat produktif bukan yang bersifat konsumtif.

3. Azas Yang Kuat Membantu Yang Lemah
Bukan sesuatu yang sulit untuk dipahami kalau orang kota membantu orang desa, orang yang kaya membantu orang yang miskin atau orang yang kuat membantu orang yang lemah. Namun sudahkah perbankan atau perekonomian syariah seperti itu?

Menyedihkan, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Kita lihat dalam perdagangan retail (department store, supermarket, hypermarket, dll.). Banyak pemasok kecil (baca: relatif lebih miskin/lemah) memasok barang ke suatu department store (baca: relatih lebih kaya alias bermodal lebih besar/kuat). Modal pemasok kecil itu mungkin didukung oleh BPR berbunga tinggi (karena bank besar tidak mau membantu nasabah gurem. Lalu oleh department store pemasok kecil itu dibayar dengan sistem konsinyasi, dibayar setelah tiga bulan dan kalau barangnya laku. Sementara department store mendapatkan bayaran tunai dari orang-orang kecil dan ketika akan mengembangkan outlet-nya dia akan ditawari bank besar dengan bunga relatif lebih rendah karena dipandang bonafide dan berisiko lebih kecil.

Perhatikan hal-hal yang biasa terjadi di bawah ini:
• Pemodal kecil ditekan oleh:
Hutang dari BPR berbunga tinggi, pembayaran dari pembeli (kaya) secara konsinyasi, dengan risiko barang tidak laku, padahal dia harus juga menghidupi pegawainya dan kemungkinan tidak sanggup untuk membayar asuransi
• Pemodal besar diuntungkan oleh:
Hutang bank besar berbunga rendah, menerima pembayaran dari konsumen secara tunai, tidak menanggung risiko barang tidak laku (karena konsinyasi), sanggup bayar asuransi (sehingga ketika terjadi kebakaran tidak ada kerugian), karyawan (baca: orang kecil) juga biasanya merasa bangga menjadi ‘kuli’ department store besar, walaupun relatif gajinya tidak jauh berbeda dengan pemodal kecil. Para SPG (sales promotion girl) terkadang dibayar oleh pemasok agar mau mempromosikan produk pemasok, sementara yang menjadi pegawai relatif dibayar dengan ‘tekanan.’

Hampir tidak ada bedanya dengan perbankan. Kepada pengusaha kecil, perbankan memberikan banyak tekanan, bunga relatif lebih tinggi (karena bargaining power rendah), dan dengan kekuatan debt collector-nya terkadang begitu kasar memperlakukan nasabah kecil. Sementara itu, pengusaha besar dianggap sebagai prime-customer, diberi bunga khusus lebih rendah (karena mereka punya bargaining power tinggi), diberi fasilitas overdraft (cerukan), diberi berbagai fasilitas platinum, dan debt-collector-nya diberitahu untuk bersikap sopan dan hati-hati (agar jangan sampai sang prime-customer kabur dan terkadang malah didorong untuk tidak menagih). Lebih dari itu terkadang bank juga masih memberikan fasilitas personal guarantee kepada relasi prime-customer tersebut. Jadi bukankah secara tidak sadar, ekonomi kapitalis mendorong membuat orang kaya lebih kaya dan orang miskin lebih miskin karena memang menekan yang miskin dan mendukung yang kaya.

Demikian pula hubungan kota-desa! Orang desa (tani atau nelayan) yang miskin dipaksa untuk menjual hasil kerjanya dengan harga murah. Bahkan kesulitan mereka dimanfaatkan para ijon/tengkulak. Orang kota dengan kekuatan uangnya memborong, menyimpan dan mempermainkan harga. Harga yang naik (inflasi) berdampak ke desa, sehingga harga di desa pun ikut melonjak, padahal mereka miskin dan tidak punya keuntungan. Sekedar menumpang hidup pun sebenarnya mereka masih rugi/tekor. Akhirnya, orang desa terpaksa menjual tanahnya kepada orang kota juga dengan harga ‘penuh tekanan.’ Orang kota semakin menancapkan kukunya, karena orang desa yang sudah tidak punya tanah akhirnya menjadi kuli (baca: budak) orang kota.

Perbankan pun ikut pula memiskinkan orang desa. Bank-bank (kota) yang memiliki cabang hingga ke desa/kecamatan, mengiming-imingi orang desa agar menabung, dan mereka diberi bunga rendah. Dananya kemudian ditarik/disedot ke kota. Dan digunakan untuk ‘memakmurkan’ orang kota agar semakin memiliki kemampuan untuk merampok dan menindas orang desa. Sungguh tragis dan ironis bukan?!! Dapatkah paradigma ini diubah? Atau mau tetap berjalan dalam paradoks?!? Hanya nuranilah yang dapat membuat para ulama, pejabat, pengusaha dan para pelaku ekonomi (khususnya perbankan) syariah menyadari bahwa selama ini masih terjadi pelanggaran terhadap Azas yang Kuat Membantu yang Lemah.

4. Azas Adil dan Makmur

Dengan konsep trickle down effect, bangsa Indonesia tenggelam dalam ekonomi kapitalis. Konsep itu berasumsi bahwa kalau segelintir konglomerat dibantu sehingga menjadi kekuatan ekonomi raksasa, maka saat menjadi kuat, ekonomi akan mengucur ke bawah sehingga keadilan dapat diwujudkan. Namun, prakteknya, betulkah demikian. Setelah kuat, ternyata para konglomerat semakin rakus merampok rakyat. Uangnya dilarikan ke luar negeri (capital flight). Para konglomerat rakus itu juga berkongkalikong dengan pejabat yang juga rakus (dan bodoh, karena dia tidak tahu betapa dahsyatnya azab neraka yang menanti mereka akibat mengingkari amanat). Sehingga keluarlah peraturan-peraturan yang menguntungkan konglomerat dan merugikan rakyat (BBM naik, jalan tol naik, tarif angkutan naik, telpon naik, listrik naik, dll).

Jadi konsep yang menghasilkan hadiah Nobel itu ternyata keliru besar. Dunia itu bagai air garam di laut yang semakin banyak diminum terasa mencekik leher. Tidak pernah menjadi puas. Yang terjadi setelah kemakmuran para konglomerat tercapai adalah kesenjangan yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin. Keadilan yang diharapkan tidak kunjung tiba. Oleh karenanya, seharusnya paradigma pembangunan diubah kembali dengan memulai dari keadilan dulu. Dengan mendahulukan kepentingan rakyat, Allah akan balik menolong . Rakyat diperlakukan adil mendorong negara menjadi makmur. Konglomerat jahat harus dijagal atau dipenggal (ironisnya sekarang malah didukung dan dibebaskan dengan release and discharge), sedangkan usaha kecil dan menengah harus didukung untuk berkembang agar ekonomi nasional menjadi stabil dan berkembang. Insya Allah, dengan implementasi Azas Adil dan Makmur, ridha Allah akan menjadikan negeri ini baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

5. Azas Payung Bagi yang Kehujanan

Dengan nalar yang sederhana, dapat dipahami bahwa yang paling memerlukan payung adalah orang yang sedang kehujanan. Ternyata pola pikir orang ‘modern’ tidak seperti itu. Terbukti selama puluhan atau ratusan tahun perbankan menggunakan pola pikir ‘tawari payung bagi orang yang dalam cuaca cerah, ambil payungnya bila mereka kehujanan.’ Ketika bank syariah berdiri di negeri tercinta ini, tampaknya pola pikir konvensional ini masih dianut, sehingga perilaku yang sesungguhnya tidak tepat ini dipertahankan dengan kemasan dan alasan prinsip kehati-hatian dan keamanan bank.

Pola ini perlu dirombak dan diperbaiki. Syariah harus dilandaskan pada amanah dan tanggung jawab, bukan agunan/jaminan manusia yang menyelamatkan bank, buktinya bank yang collapse pada masa krisis moneter adalah bank yang memiliki nasabah dengan agunan. Dan ternyata banyak agunan yang fiktif atau di-mark up. Bukan pula keuntungan bila orang yang sungguh-sungguh memerlukan, malah ‘dihukum’ dengan penyitaan jaminan/agunan. Ketika sebuah bank mengambil yang bukan ‘haknya,’ maka Allah yang akan ‘menegur’ (dengan kesulitan atau kerugian) bank tersebut. Dapatkah janji dan peran serta Allah ini Anda imani?

Dalam value syariah yang benar, maka seharusnya perbankan tidak menghukum nasabah yang kesulitan bukan karena kesengajaan. Justru mereka harus dibantu. Sesungguhnya para pedagang Cina, terkadang lebih Islami. Ketika ada pelanggannya terkena musibah, pedagang/pengusaha Cina tidak memaksa pelanggannya untuk membayar hutang. Malah seringkali ditawari dua kemungkinan, diberikan tambahan hutang (biasanya tanpa bunga, karena merupakan hutang dagang) atau dihapuskan (sebagian atau seluruhnya, kalau memang dia yakin bahwa orang itu bukan menipu, dan dia yakin orang itu mau bangkit). Tidak terlihat pedagang Cina tersebut memberikan pilihan atau kemungkinan untuk menyita barang pelanggannya. Sudahkah perbankan syariah seperti ini? Bukankah Rasulullah SAW menyuruh umatnya yang memberi hutang untuk bersikap lunak terhadap orang yang berhutang? Memang, masyarakat pun perlu dibina untuk jujur dan bertanggung jawab, namun hal itu bukan tidak mungkin untuk diatasi dengan adanya sistem pengawasan yang baik. Sebagai bukti di Bangladesh, Grameen Bank dapat tumbuh dan sukses membina masyarakat dengan kredit ‘super-mikro.’

6. Azas Rizqi yang Berkah

Orang Barat mengatakan ‘time is money,’ waktu adalah uang. Benarkah? Bila diuraikan mungkin mereka mengatakan waktu untuk bekerja, bekerja untuk mendapatkan uang. Uang adalah fungsi dari waktu dan kerja (Uang=f(waktu,kerja)). Bahkan oleh Robert T. Kiyosaki dengan Cashflow Quadrant-nya fungsi kerja ingin dieliminasi menjadi investor (di bursa efek) atau business owner, sehingga kalau cerdas, tak perlu kerja keras, uang akan mengalir deras. Jadi boleh dikatakan bahwa ekonomi kapitalis berlandaskan azas time value of money, nilai waktu dari uang. Uang pada masa sekarang (present value), dianggap lebih besar nilainya daripada uang di masa yang akan datang (future value). Azas berpikir yang melandasi paradigma kapitalisme ini tentu saja lancung bagi orang yang berpegang teguh kepada Islam secara kaffah, karena inilah sebetulnya akar dari riba. Oleh karena itu, seharusnya dan seyogyanya para ulama dan akademisi Islam berpikir ekstra keras untuk mencari pengganti azas time value of money ini.

Atas dasar itu, perlu direnungkan sebuah alternatif yang dideduksi dari pemikiran sederhana dalam Islam, waktu adalah ibadah. Waktu yang digunakan untuk beribadah akan memberikan berkah (a). Kerja yang berkah akan menghasilkan rizqi (b). Mungkin dapat digambarkan dengan persamaan matematis sebagai berikut:

(a) Waktu + Ibadah = Berkah
(b1) Kerja + Berkah = Rizqi
atau
(b2) Berkah = Rizqi - Kerja

Dari kedua persamaan di atas dapat diolah menjadi:
(c1) Waktu + Ibadah = Rizqi – Kerja
atau
(c2) Waktu + Kerja + Ibadah = Rizqi

Atau secara ringkas dapat dituliskan: Rizqi = f(Waktu, Kerja, Ibadah). Perhatikan perbedaan yang terlihat sederhana dengan pola kapitalisme: Uang = f(Waktu, Kerja). Perbedaan Rizqi dan Uang terletak pada variabel Ibadah. Ibadah atau amal itu tergantung kepada niatnya, hadirkan peran serta asma Allah. Bila ingin bernilai ibadah maka gunakan waktu dan kerja dengan niat karena Allah, BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM, atas nama atau dengan peran serta asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Secara sederhana pula dari persamaan di atas dapat dipahamkan bahwa boleh jadi rizqinya berbentuk uang, tetapi berbeda nilai keberkahannya. Perbedaannya seperti kabel yang dialiri listrik dan kabel yang tidak dialiri listrik. Lebih luas daripada itu, rizqi dapat berbentuk macam-macam: ketenangan, kenyamanan, kebahagiaan, keselamatan, atau kesehatan. Seringkali hal tersebut diabaikan di Barat, karena tidak terlihat dan sukar dinilai dalam bentuk kuantitatifnya. Padahal sebenarnya dapat saja terlihat dan dihitung secara kuantitatif dengan cara menghitungnya bila rizqi yang bersifat intangible tersebut rusak atau hilang. Misalnya kalau keselamatan terenggut, berapa biaya rumah sakit (itu pun kalau masih hidup). Kalau meninggal? Boleh jadi sangat mahal dan tak terhingga nilainya. Demikian pula kehilangan kesehatan dapat menyebabkan orang kaya jatuh miskin dan bangkrut. Apakah hal seperti ini akan diabaikan dari paradigma syariah kita?

Azas Rizqi yang Berkah merupakan salah satu kunci untuk memahami dan merasakan kehadiran Allah SWT di setiap aspek kehidupan kita. Sepintas mungkin tidak terlihat/tampak, namun sesungguhnya ada dan nyata. Dikatakan ghaib karena tak terjangkau panca indera namun dapat kita persepsi dan rasakan. Bukankah Allah menyuruh umatnya untuk mengimani yang ghaib ?!!

7. Azas Makan Bubur

Pepatah Cina bahwa mereka akan makan bubur, ketika mereka sebenarnya mampu membeli nasi, dijalani oleh banyak orang Cina sebagai sebuah falsafah hidup. Dalam bahasa Al Quran, mungkin dikatakan, janganlah berbuat boros, karena boros itu perbuatan setan. Dan setan adalah musuh manusia yang nyata.

Kami melihat pedagang Cina totok (entah sekarang, apa yang terjadi dengan para pedagang Glodok atau Mangga Dua, masihkah mereka mempertahankan falsafah ini?) makan sehari-hari dengan ikan asin atau tahu/tempe, bahkan terkadang hanya dengan bawang goreng dan garam. Mereka bekerja keras lebih dari enambelas jam sehari, 7 hari seminggu, 363 hari setahun (biasanya cuma libur di hari lebaran dan tahun baru imlek). Ketika mereka memiliki uang cukup untuk beli mobil, mungkin mereka hanya beli motor, sisanya dipakai untuk tabungan atau pengembangan usaha. Ketika mampu beli motor, mereka berpikir lebih baik naik sepeda atau mikrolet.

Lain dengan kebanyakan umat Islam. Baru punya kemampuan membeli bubur, sudah ingin makan di rumah makan atau restoran (cukup) mahal seperti Sizzler atau McDonald. Tak peduli harus puasa selama 27 hari asal selama tiga hari bisa nampang. Baru mampu beli sepeda, sudah merasa terlalu hebat untuk naik sepeda, sehingga ingin beli motor walaupun harus berhutang. Baru mampu merawat dan membayar pajak motor, inginnya beli mobil. Akhirnya kartu kredit dan berbagai program kredit lainnya dijadikan sebagai simbol kebanggaan. Di mana nilai islaminya? Tidak ada, karena (1) sesungguhnya umat Islam dilarang Allah berbuat sombong walaupun cuma sebesar biji sawi. Mobil dan motor pastilah lebih besar dari biji sawi. (2) umat Islam dilarang berbuat di luar kemampuan. (3) umat Islam didorong untuk tidak berhutang dan ditekan agar segera membayar hutang segera setelah mampu untuk membayar. Jadi tentunya kartu kredit (baca: kartu bukti berhutang) tidak boleh dijadikan sebagai simbol kebanggaan.

Ingatkah dengan Rasulullah dan para shahabat??? Di saat mereka memiliki banyak harta, shahabat Umar r.a. malah menginfaqkan 50% hartanya di jalan Allah. Shahabat Abu Bakar r.a. malah menginfaqkan 100% hartanya. Mengapa umat Islam terjerumus menjadi begitu boros, sampai-sampai sesuatu yang belum sanggup dibeli, beli juga dengan kartu kredit atau program kredit apa pun. Dan akhirnya umat tetap miskin.

Dengan Azas Makan Bubur, sifat konsumtif tidak boleh dilakukan di dalam Islam (bank syariah), karena mendorong umat menjadi boros. Lagi pula apa yang dibagihasilkan dalam kredit konsumtif?

8. Azas Allah Maha Kaya

Seringkali pikiran sempit membuat manusia menjadi pelit, padahal Allah Maha Kaya. Rizqi-Nya amat luas dan banyak jauh lebih luas daripada yang dapat dibayangkan. Seringkali pula pikiran negatif berkecamuk, sehingga tidak mampu berpikir besar. Pikiran manusia yang sesungguhnya serba terbatas dianggap sebagai kebenaran itu sendiri. Padahal kebenaran manusia terhadap kebenaran Allah SWT, tidak lebih seperti air menempel di ujung kuku dibandingkan dengan air di samudera luas. Renungkanlah kemahabesaran dan kemahakayaan Allah SWT agar tidak takabur dengan pikiran, jabatan atau ilmu yang serba sedikit dan terbatas yang sekarang dimiliki. Perbanyaklah istighfar dan doa untuk meminta petunjuk, bimbingan dan pertolongan dari Allah SWT agar solusi-solusi cemerlang untuk kebangkitan umat dapat segera kita temukan.

Pemikiran seperti di atas, akhirnya membuat orang-orang berpikir jangka pendek dengan pola pikir kapitalistik yang sebenarnya tidak sesuai dengan aqidah berpikir islami. Contoh-contoh kekeliruan dan paradoks dalam praktek ekonomi syariah di atas terlahir dari pandangan dan paradigma sempit tersebut. Seolah-olah kalau sistem yang dijalankan membela rakyat kecil dan pola yang sama sekali berbeda dengan pola yang biasa mereka anut dan gunakan, pasti hasilnya negatif. Memang di saat banyak bankir merupakan ‘alumni Citibank’ atau lulusan pendidikan Barat, maka amat berat untuk mengubah pola pikir yang telah menjadi doktrin yang kuat menancap dalam benak mereka. Butuh pemikiran segar yang membawa nilai-nilai Islam yang benar secara hakiki untuk melakukan lompatan quantum perubahan paradigma perbankan syariah ini. Sayangnya, relatif sangat sedikit ulama yang betul-betul memahami seluk-beluk perbankan dewasa ini, sehingga terjadilah kesenjangan antara kebutuhan ulama yang mengerti perbankan dengan ketersediaannya.

Salah satu atau lebih dari delapan azas di atas, sering terlepas dari pemikiran dan praktek ekonomi syariah dewasa ini. Oleh karenanya, perlu menjadi perhatian besar dari para ulama, umara, pengusaha maupun akademisi Islam yang serius berjuang menegakkan Islam kaffah di berbagai bidang, khususnya di bidang ekonomi.

III. Sektor Real, Lokomotif yang (Tak Seharusnya) Terlupakan

Perhatian para pakar ekonomi Islam selama ini terhadap sektor moneter bukan suatu kesalahan mutlak, karena memang sektor moneter pun sangat perlu untuk dikawal dan dijaga karena sangat rawan untuk terjerumus ke dalam riba atau bentuk-bentuk lain yang tidak diridhai Allah SWT. Oleh karenanya kesadaran dan kehati-hatian sangat diperlukan untuk menghindari muamalah yang tidak sesuai dengan tuntutan dan tuntunan syariat Islam. Kendati demikian, perhatian terhadap sektor real pun tidak boleh dilupakan, karena sektor real yang tidak berjalan dengan baik dapat menghambat bahkan menurunkan kualitas pemenuhan syariah itu sendiri.

Ada beberapa alasan mengapa hambatan dan penurunan kualitas syariah dapat terjadi akibat sektor real yang belum berjalan dengan baik:
1. Dana yang dihimpun tak dapat atau, paling tidak, sulit disalurkan ke sektor real. Akibatnya perbankan syariah menyalurkan ke SWBI (Simpanan Wadiah Bank Indonesia) yang tidak memberikan return yang memadai untuk operasional perbankan syariah atau lebih riskan (secara syariah) bila ‘dimainkan’/disalurkan ke pasar modal atau pasar uang (money market).
2. Sektor real yang tidak/kurang berjalan dengan baik yang mendapatkan penyaluran dana perbankan syariah dapat berdampak negatif dengan cara:
a. Return yang kecil yang membuat profitabilitas perbankan syariah menjadi rendah. Padahal dengan konsep bagi hasil pada perbankan syariah, sesungguhnya peluang return dapat JAUH lebih BESAR daripada menggunakan konsep bunga/riba.
b. Rendahnya tingkat kelancaran pelunasan pembiayaan syariah, yang dapat membuat ‘kapok’ perbankan syariah untuk mengucurkan dananya lebih jauh ke sektor real. Akhirnya bank syariah terjebak dalam pola kredit konvensional yang mensyaratkan agunan dan bertindak serupa dengan perbankan konvensional menghadapi kredit macet (lihat Azas Payung bagi yang Kehujanan pada Bab II).
c. Rendahnya tingkat amanah, kesalingpercayaan dan kejujuran yang juga dapat menyebabkan perbankan syariah kembali ke pola kredit konvensional, padahal amanah, kesalingpercayaan dan kejujuran sebenarnya merupakan kekuatan dahsyat dari ekonomi syariah.
3. Tidak/kurang berkembangnya sektor real yang bersifat produktif, menyebabkan perbankan syariah cenderung merancang produk-produk perbankan ke sektor konsumtif yang sangat rawan terhadap pemenuhan syariahnya. Wacana dan keinginan untuk meluncurkan produk kartu kredit syariah adalah salah satu contoh ‘kebablasan’-nya perbankan syariah yang tidak disertai perubahan paradigma secara mendasar. Mau diutak-atik seperti apa pun, sulit (bahkan tidak mungkin) kartu kredit konsumtif dapat menjadi syariah. Kartu kredit hanya mungkin menjadi syariah, bila disalurkan ke sektor produktif (lihat bab berikutnya dari makalah ini yang membahas rancangan terpadu ekonomi syariah) yang dapat mengangkat ekonomi umat dan bangsa secara keseluruhan.
4. Penggunaan pola-pola atau praktek perbankan konvensional dalam perbankan syariah menyebabkan aliran dana akan tetap mengalir kepada para pemilik modal di perkotaan, dan tersendat atau terhambat untuk mengalir kepada kaum petani, peternak, nelayan dan pengrajin yang ada di pedesaan (lihat Azas Yang Kuat Membantu Yang Lemah). Hal ini menyebabkan sulitnya membendung urbanisasi, karena orang di desa melihat kota adalah pusat uang dan kekayaan. Akibatnya pedesaan semakin tertinggal dan kesenjangan semakin tinggi. Inilah dampak kapitalisme yang harus dilawan oleh ekonomi syariah atau ekonomi Islam. Dan di sinilah justru kekuatan ekonomi Islam berada: mendorong terciptanya keadilan dan kemakmuran sekaligus. Bukan keadilan tanpa kemakmuran. Bukan pula kemakmuran tanpa keadilan. Apalagi hidup tanpa keadilan dan kemakmuran.

5. Sektor real yang tidak dibantu (secara finansial karena kurang mendapat kucuran dana dari perbankan syariah, secara akhlaq dan etos kerja oleh kalangan ulama dan akademisi serta di bidang hukum dan infrastruktur oleh pemerintah) menjadi sulit berkembang, sehingga tidak memiliki daya saing secara global. Hal ini bertambah parah dengan semakin merajalelanya praktek korupsi, pungli dan manipulasi (semuanya melanggar syariah) yang dilakukan oleh oknum birokrat dan aparat yang seharusnya menegakkan hukum. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang juga tidak mendukung seperti kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), tarif listrik, tarif telpon, tarif dan aturan perpajakan, tarif jalan tol) semakin membuat ekonomi bangsa Indonesia (terutama sektor real) terjepit, terpuruk dan terjerembab ke jurang paling dalam, bukannya bangkit dan menjadi kekuatan ekonomi baru. Taraf kehancuran dan kemunduran ini sudah semakin parah. Bukan lagi lampu kuning, melainkan sudah lampu merah. Semua pihak harus optimis dan berjuang secara maksimal untuk kepentingan bangsa secara agregat (keseluruhan), bukan kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Kita sesungguhnya punya modal yang sangat lebih dari memadai untuk mengubah bangsa ini menjadi khalifah di muka bumi. Kuncinya, menyembah hanya kepada Allah dan tidak mempersekutukan segala sesuatu apa pun dengan-Nya Hal ini mudah untuk dikatakan, tetapi sulit (berat) untuk dikerjakan, apalagi di saat otak dan pikiran sudah tercemar oleh racun kapitalisme yang dapat membutakan mata umat dan pemimpin Islam untuk melihat jalan lebar, mulus dan lurus (ash-shirat al mustaqim) yang ditunjukkan Allah SWT. Namun bila keikhlasan (mengakui kesalahan dan kekurangan, membantu yang lemah dengan segala kekuatan yang telah dilimpahkan-Nya, mengikuti segala perintah-Nya walaupun terasa berat dan sulit serta ikhlas menjauhi segala larangan-Nya walaupun begitu menggoda dan mempesona) telah merasuk dan bersemayam di dalam diri umat dan pemimpin Islam, maka hal ini menjadi mudah saja. Bangsa ini memiliki sumber daya alam sangat melimpah yang bila dikelola dengan baik akan sanggup melunasi hutang tak lebih dari sepuluh tahun saja. Bangsa ini juga memiliki sumber daya manusia luar biasa dari sisi kuantitas maupun kualitas. Dengan pelurusan dan peningkatan moral, motivasi dan percaya diri, maka hanya dalam waktu lima belas hingga dua puluh lima tahun mendatang bangsa Indonesia dapat memimpin umat Islam di seluruh dunia untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan buat seluruh alam. Bukan sekedar harapan, namun perlu dibuktikan dan diwujudkan dengan kerja keras seluruh komponen umat/bangsa tercinta ini.

IV. Rancangan Ekonomi Syariah Terpadu

Sebagaimana telah dikupas dalam tiga bab terdahulu, ekonomi syariah yang selama ini dijalankan perlu dirombak secara mendasar dan dibangun kembali dengan paradigma baru. Tidak mudah karena melibatkan peran serta banyak pihak dan kerja keras seluruh komponen umat dan bangsa, namun bukan berarti tidak mungkin. Cetak biru ekonomi syariah ke depan dapat direnungkan dari gambaran dan bahasan sederhana di bawah ini. Renungan, kesadaran, pemikiran dan saran-saran dari semua pihak amat diperlukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan rancangan tersebut:

1. Funding di Kota, Lending di Desa
Sesuai Azas Yang Kuat Membantu Yang Lemah dan melihat komposisi penyebaran dana, maka sangat tepat bila kota-kota (besar) menjadi tempat pengumpulan dana (funding). Hasil pengumpulan dana bukan disalurkan ke sektor real konsumtif yang mungkin lebih mudah dan menghasilkan dalam waktu cepat, melainkan ke sektor produktif yang mungkin lebih rumit dan memerlukan waktu lebih lama untuk menghasilkan. Lebih rumit sebenarnya hanya karena tidak terbiasa. Kalau sudah biasa maka akan menjadi mudah kembali. Seperti membasuh badan atau, maaf, istinja yang biasa dilakukan dengan tangan kiri menjadi terasa lebih sulit ketika terpaksa harus dilakukan dengan tangan kanan. Kita hanya perlu berpikir keras di awal untuk membangun sistem baru yang sesuai dengan paradigma baru. Seterusnya, dapat terasa menjadi lebih mudah dan menyenangkan.

Karena potensi return atau profitability di sektor real lebih besar (pasti lebih besar daripada tingkat bunga deposito pada saat ini yang di bawah 10% per tahun), sebenarnya tidak menjadi masalah untuk memberikan janji bagi hasil besar di awal sehingga semakin banyak menyedot dana perkotaan. Yang lebih penting adalah menghindari masalah agar sektor real yang dibangun benar-benar dapat menghasilkan dan menjalankan amanah pembiayaan dengan benar.

Desa-desa yang selama ini terbelit kemiskinan dan menjerit dalam penderitaan, perlu dikucuri dana segar untuk membangun mereka. Lahan-lahan yang mereka miliki pun telah banyak beralih kepemilikan kepada orang-orang kota. Kalau dikucurkan langsung kepada mereka mungkin juga akan terasa seperti menaburkan gula di laut. Air laut akan tetap asin, tidak terasa manis. Lahan-lahan mereka tidak memadai untuk menghasilkan sesuatu yang akan mengangkat taraf kehidupan mereka. Dana yang tersedia perlu dikelola untuk membuka lahan baru yang luasnya memadai yang akan dikelola oleh orang desa yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk maju, sekaligus membangun infrastruktur pengolahan hasil pertanian tersebut.

Untuk desa nelayan, malah mungkin lebih sederhana dan cepat. Dana dapat disalurkan untuk menyediakan peralatan penangkap ikan modern lengkap dengan infrastruktur pengolahan ikannya. Berikan kesempatan kepada mereka untuk memiliki saham di asset peralatan penangkap ikan dan infrastruktur pengolahan ikan tersebut sehingga memiliki motivasi kuat untuk merawat dan bekerja keras mengangkat harkat hidup mereka. Hargai kemampuan, kemauan dan kerja keras mereka sebagai penyertaan saham. Inilah solusi menang-menang, win-win solution. Kekayaan bahari bangsa ini sangat luar biasa dan harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan bangsa. Saat ini terlalu sering laut kita dirampok dan dijarah oleh nelayan-nelayan asing (Australia, Malaysia, Thailand, dll) dan sangat ironis ternyata aparat kita justru kalah digertak oleh oknum aparat negara asing tersebut. Dua pertiga negara kita terdiri dari air/laut dan hanya sepertiganya berupa daratan. Kalau selama ini laut Indonesia tidak atau belum menghasilkan, berarti potensinya sangat besar dan dahsyat untuk mengangkat ekonomi bangsa.

Untuk desa atau daerah yang potensi wisatanya mendukung, perlu dibenahi sumber daya manusia maupun infrastrukturnya untuk menjadi pelaku-pelaku ekonomi wisata dan budaya yang handal (bersih, ramah, komunikatif, terampil membuat kerajinan atau seni budaya) serta promosikan dan integrasikan dengan program-program peningkatan kualitas sumber daya insani, baik di kota-kota besar tanah air maupun di mancanegara.

Desa-desa yang tidak memiliki potensi tani, nelayan atau wisata perlu dibina untuk dapat membuat produk-produk kerajinan. Peran pemerintah dan para praktisi ekonomi syariah adalah untuk menyiapkan dana/bahan baku, infrastruktur pendukung dan pasar (domestik maupun ekspor). Hal ini jauh lebih mulia daripada mengirim tenaga kerja yang dihinakan/dilecehkan di luar negeri dapat merugikan citra bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Penyaluran dana di sektor real produktif seperti tersebut di atas di desa-desa, insya Allah memiliki multiplier effect yang sangat besar. Karena setelah mereka berhasil, tentu produk-produk industri pun dapat terserap sehingga roda ekonomi berputar dengan mulus dan sehat. Setelah berhasil melakukan pembenahan sektor real ini, sektor moneter pasti terangkat drastis. Nama baik Islam, ekonomi Islam/syariah, dan bangsa Indonesia akan terangkat. Pada saat itulah, kita dapat menyampaikan ketinggian, keluhuran dan kemuliaan Islam dengan mudah dan menyentuh seperti yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat di masa perkembangan awal Islam.

2. Penyaluran Dana Hanya untuk Produksi
Pola penyaluran dana untuk sektor konsumtif jauh lebih menguntungkan negara maju/industri dibandingkan dengan negara berkembang itu sendiri. Penguasaan mereka terhadap teknologi, akses pasar, infrastruktur perdagangan internasional. Kartu kredit, misalnya, berapa milyar dolar per bulan (atau per hari?) yang akan tersedot ke luar negeri sebagai principal Visa, Master, Electron, Cirrus, Maestro, Diners Club dan berbagai kartu kredit lainnya. Demikian pula halnya dengan teknologi telekomunikasi dan elektronika: handphone, televisi, PDA, kulkas, mobil, dan motor bahkan selain menyedot devisa secara langsung karena hampir semuanya produk impor, secara tidak langsung menghamburkan listrik dan BBM (akhirnya dengan alasan untuk membantu rakyat kecil, justru tarif listrik dan BBM naik), dan lebih banyak lagi dana tersedot untuk membayar riba/bunga untuk kepemilikan peralatan elektronika tersebut karena tawaran dan ketersediaan produk tersebut tidak disertai oleh kemampuan finansial untuk membelinya. Karena kebutuhan akan dolar meningkat, akhirnya nilai rupiah pun terpuruk. Hal ini tidak perlu mengherankan, karena memang secara nalar konsekuensi seperti itu.

Aneh memang, bila pemerintah justru secara sadar atau pun tidak malah turut menghancurkan sektor real di dalam negeri. Seharusnya langkah pertama yang perlu dilakukan adalah pembenahan birokrasi dan perusahaan BUMN agar tercipta efisiensi dalam melayani dan menyediakan infrastruktur untuk kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Kegagalan melakukan efisiensi akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Terlalu naïf bila semua perusahaan negara langsung menaikan tarif pada saat menderita kerugian. Anak kecil juga mampu melakukan hal itu. Justru orang-orang pintar yang dipilih untuk menjadi pemimpin (baca: pelayan) umat itu diangkat untuk meringankan beban umat bukan memberatkan seperti sekarang ini terjadi. BBM, pajak, tol, telpon dan listrik seharusnya dikendalikan agar sektor real tumbuh, dan kemakmuran muncul dari keadilan dan keberkahan.

Kemiskinan akan menyuburkan kriminalitas, karena kelaparan atau kebutuhan perut tidak dapat menunggu. Apalagi di kiri dan kanan secara mencolok orang-orang mempertontonkan borjuisme dan kesenjangan yang sangat luar biasa. Kecemburuan sosial mendorong terjadinya kriminalitas tadi. Dan dalam posisi sekarang, relatif umat lebih sulit untuk sedikit mundur dan mengurangi kenikmatan semu yang sekarang dirasakan. Namun, dengan keteladanan dan dorongan dari para pejabat atau pemimpin umat (termasuk DPR yang tidak punya malu meminta kenaikan gaji, pengelola jalan tol yang tidak tahu malu menaikkan tarif tol dengan kemacetan yang ditimbulkan oleh ketidakmampuan mereka mengelola kelancaran pelayanan di pintu-pintu tol), maka kesadaran umat dapat dijaga.

Bila semua pihak mau bekerja keras untuk membina dan membenahi sektor real ini, maka yang pertama dan utama tumbuh adalah kemakmuran dan kesejahteraan bangsa, bukan kemakmuran dan kesejahteraan negara maju/industri. Hal ini pasti mereka coba tutupi habis-habisan, karena begitu kesadaran ini muncul dari negara berkembang, merekalah korban pertamanya. Oleh karenanya para pelaku ekonomi negara berkembang, khususnya Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dan diharapkan menjadi lokomotif kebangkitan umat, SANGAT PERLU menyadari penting dan urgensinya pembinaan dan pengembangan sektor real ini.

Penyaluran dana ke sektor real merupakan harga yang tidak boleh ditawar lagi bagi bangsa ini (dan juga bangsa-bangsa lain di negara berkembang) untuk bangkit dan ke luar dari kehancuran dan keterpurukan. Kebangkitan dan kemenangan tidak pernah akan diberikan oleh musuh-musuh yang sekarang memiliki keunggulan dan kekuasaan. Bangsa Indonesia pada umumnya, umat Islam pada khususnya harus sadar dan mau bahu-membahu bekerja keras, cerdas dan ikhlas untuk merebut keunggulan dan kemenangan dengan cara yang elegan dan profesional.

Kedahsyatan pengembangan sektor real mulai dapat dirasakan dalam waktu yang relatif cepat, bahkan tidak sampai satu periode kepemimpinan. Sekarang keputusannya tinggal tergantung kepada kita, MAU atau TIDAK. Siapakah kita? Pemerintah, ulama, akademisi, para pakar/cendekiawan, dan rakyat itu sendiri.

3. Kreasi ‘Productive Cheque’

Untuk mendukung keberhasilan program pemberdayaan sektor real, dapat diciptakan berbagai instrumen seperti productive cheque, kartu kredit produktif, uang produktif daerah atau berbagai instrumen lain yang sesuai dengan tujuan syariah.
Bagaimana caranya? Productive cheque, kartu kredit produktif, atau uang produktif daerah dapat digunakan oleh masyarakat yang sekarang tidak punya cukup kemampuan finansial untuk melakukan produksi. Berbagai instrumen tadi digunakan untuk pengadaaan faktor-faktor produksi. Kebutuhan sehari-hari tidak boleh menggunakan instrumen ini. Bila mereka terlalu miskin sehingga tidak memiliki apa-apa untuk kebutuhan mereka sehari-hari, maka mereka tentunya berhak untuk menjadi penerima ZIS (Zakat Infaq Shadaqah) hingga mereka mampu menghasilkan rizqi dari usaha mereka di sektor real. Kenapa tidak menggunakan uang saja seperti sekarang? Problemnya adalah uang dapat digunakan untuk tujuan konsumtif dan sukar untuk dibatasi penggunaannya. Jadi perbankan syariah (mungkin bekerja sama dengan pemerintah daerah) bertugas untuk memastikan produktivitas berjalan dengan alat kontrol yang diciptakan oleh sistem perbankan syariah sendiri. Alat kontrol itu dapat berupa semacam posko-posko ukhuwah masyarakat mandiri di desa-desa produksi (tani, ternak, nelayan, kerajinan atau wisata) sekaligus aturan main (sistem imbal dan sanksi, reward and punishment system) agar masyarakat penerima pembiayaan sektor real syariah ini turut aktif menjaga amanah pembiayaan syariah. Pola pengawasan dan pembinaan Grameen Bank di Bangladesh, dapat digunakan dengan penyesuaian dan modifikasi selaras dengan kondisi dan situasi di tanah air.

Makalah ini mungkin terlalu sederhana sebagai sebuah cetak biru, namun apabila seluruh peserta seminar atau muktamar ekonomis syariah turut berperan aktif menyempurnakan makalah atau cetak biru rancangan ekonomi syariah terpadu ini, yakinlah bahwa bangsa ini, bahkan umat Islam di seluruh dunia dapat memperoleh manfaat dari cetak biru ini, karena permasalahan umat di berbagai belahan dunia tampaknya tidak jauh berbeda dengan permasalahan di tanah air.

V. Kesimpulan dan Saran
Dari pembahasan di atas, kiranya dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut:
1. Perkembangan ekonomi syariah selama ini perlu disyukuri dan terus ditingkatkan kualitasnya, serta diwaspadai agar tidak menjadi bumerang bagi perkembangan dan citra ekonomi Islam itu sendiri.
2. Fokus perhatian yang selama ini berkutat di sektor moneter perlu diperluas dan diperkokoh dengan membangun sektor real agar kualitas syariah dapat lebih terjaga, karena pengabaian terhadap sektor real dapat merugikan ekonomi syariah itu sendiri. Bahkan sektor real dapat dijadikan sebagai motor utama penggerak ekonomi syariah.
3. Pemberdayaan ekonomi syariah ke depan, baik sektor real maupun sektor moneter, perlu disertai dengan perombakan dan pelurusan paradigma agar lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam dan nalar yang benar. Delapan azas yang berperan sebagai pilar pengokoh bangunan ekonomi syariah perlu ditegakkan dengan penuh kesungguhan.
4. Terobosan-terobosan kreatif, yang sepintas mungkin terlihat rumit dan tidak lazim, dapat dilakukan untuk mewujudkan keunggulan nilai-nilai (ekonomi) Islam dengan melihat manfaat dan mudharat secara keseluruhan bagi umat dan bangsa.
5. Diperlukan kerja keras dan peran serta semua pihak untuk mewujudkan kesuksesan ekonomi syariah secara terpadu:
• Pembenahan akhlaq dan penyadaran moral oleh para ulama dan tokoh masyarakat.
• Keteladanan sikap dan pembenahan infrastruktur oleh para pejabat dan pemegang otoritas.
• Penyiapan perundang-undangan oleh lembaga legislatif dan penegakannya oleh lembaga-lembaga terkait.
• Pengembangan ilmu dan regenerasi oleh para akademisi dan pelaku ekonomi syariah secara bersama dengan niat lurus demi terwujudnya kejayaan dan keunggulan umat dan bangsa.

Semoga Allah SWT membukakan hati dan pikiran umat dan pemimpinnya, memberi hidayah, pencerahan, taufik dan kasih sayang buat umat dan bangsa ini agar segera keluar dari keterpurukan dan kegelapan menuju kejayaan dan cahaya terang benderang. Wallahu a’lam bish-shawab

0 komentar:

  © Blogger template Inspiration by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP