Syariah untuk Kelebihan Likuiditas

>> Rabu, 03 September 2008

Salah satu masalah ekonomi penting yang dihadapi bangsa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir adalah kelebihan likuiditas dalam perekonomian. Akibat ekses likuiditas tersebut, maka penempatan dana di sertifikat BI, sebagai contoh, semakin bertambah.
Berdasarkan data yang dirilis oleh BI, total SBI per 17 Januari 2008 mengalami peningkatan dari kisaran Rp 200 triliun tahun lalu menjadi Rp 312,79 triliun tahun ini. Proporsinya, kepemilikan asing yang mencapai Rp 28,94 triliun atau sekitar 9,25 persen dari total keseluruhan
Masalah ini terbilang cukup serius mengingat dampak utama yang ditimbulkannya antara lain minimnya kucuran dana bagi sektor riil akibat uang hanya berputar di pasar keuangan dan rentannya perekonomian dalam negeri terhadap isu-isu eksternal. Sebagai contoh, gejolak yang memukul pasar saham domestik beberapa waktu lalu.Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan bank sentral, jumlahnya juga tidak sedikit. Karena itu, dibutuhkan berbagai solusi yang dapat mengeluarkan bangsa ini dari masalah kelebihan likuiditas ini. Artikel ini mencoba membahas pendekatan ekonomi Islam terhadap masalah tersebut sehingga diharapkan dapat dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan ekonomi di negeri ini.
Likuiditas dan ekonomi Islam
Pada hakikatnya kelebihan likuiditas akan sulit terjadi pada sistem ekonomi Islam karena dana masyarakat di perbankan syariah secara otomatis akan mengalir ke sektor riil melalui instrumen pembiayaan syariah yang real sector based (Al Jarhi, 2004). Transaksi yang memperdagangkan nilai uang, tanpa adanya underlying asset atau tanpa adanya keterkaitan langsung dengan produk riil (barang/jasa), tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam.
Meski demikian, menyimak kondisi sekarang dengan share bank syariah masih relatif kecil dibandingkan bank konvensional, tentunya peran ideal bank dan lembaga keuangan syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditas belum akan begitu terasa. Dalam kondisi seperti ini, salah satu elemen pokok dalam sistem ekonomi Islam, yaitu pemerintah (regulator), perlu mengambil alih dan memegang peranan kunci perekonomian dengan didukung oleh kalangan perbankan syariah itu sendiri.
Apa yang dapat dilakukan pemerintah? Sebagai pemegang otoritas kebijakan fiskal, pemerintah secara aktif dapat menyerap kelebihan likuiditas perekonomian melalui instrumen surat berharga Islami, seperti sukuk. Melalui sukuk, dana idle tersebut dapat digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah di sektor riil.
Sebagai perumpamaan, apabila underlying contract sukuk adalah skim investasi berbasis bagi hasil, maka keuntungan yang diperoleh kelak akan dibagi kepada pemegang sukuk berdasarkan persentase yang disepakati.
Meski begitu, pemerintah harus secara cermat menganalisis proyek-proyek investasi sektor riil yang akan dibiayai melalui instrumen sukuk ini. Untuk mengatasi problematika pengangguran dan kemiskinan yang menjadi masalah utama bangsa ini, pemerintah dalam jangka 3-5 tahun mendatang sebaiknya memfokuskan peningkatan investasi pada sektor-sektor tradable dalam perekonomian, seperti pertanian, pertambangan, dan industri manufaktur.
Selama ini terjadi kesenjangan pertumbuhan antara sektor tradable dengan non-tradable (seperti telekomunikasi dan jasa-jasa), dengan sektor tradable pertumbuhannya berada di bawah nilai pertumbuhan PDB Indonesia pada tahun 2007 lalu. Sebagai contoh, sektor pertanian hanya tumbuh 2-3 persen dan manufaktur tumbuh 4-5 persen.
Ini berbeda dengan sektor non-tradable yang tumbuh jauh di atas nilai PDB. Sektor komunikasi, misalnya, mengalami pertumbuhan 20 persen, jauh melebihi nilai pertumbuhan PDB yang hanya 6,3 persen. Padahal, konsentrasi penyerapan tenaga kerja di Tanah Air sangat bergantung pada pertumbuhan sektor tradable ini.
Hal tersebut juga selaras dengan rekomendasi Kadin Indonesia dalam laporan akhir tahun 2007 yang mengharapkan peran aktif pemerintah dalam mengurangi kesenjangan pertumbuhan kedua sektor tersebut. Karena itu, jika kehadiran instrumen sukuk ini ingin langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan, maka fokus utama penerbitan sukuk negara dalam jangka pendek adalah pada investasi di sektor-sektor tradable. Dalam jangka panjang, kedua sektor tersebut harus mendapat perhatian yang seimbang.
Selain sukuk, surat berharga lain yang memungkinkan untuk diterbitkan oleh pemerintah adalah Islamic Leasing Investment Fund/ILIF (Kahf, 2000). ILIF adalah instrumen surat berharga Islami yang diterbitkan pemerintah untuk membiayai proyek-proyek pembangunan berdasarkan skim ijarah, seperti pembangunan sektor perumahan.
Instrumen lainnya adalah Government Investment Issues (GII), sebagaimana yang diterbitkan oleh Malaysia. Cara ini dengan menggunakan beragam skema yang sesuai syariah, seperti mudarabah, musyarakah, ijarah, dan salam.
Semuanya merupakan bentuk upaya langsung pemerintah dalam perekonomian untuk menyerap dana berlebih dan menggunakannya bagi pembiayaan proyek pembangunan yang dijamin oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah dapat pula menggandeng bank-bank syariah sebagai business partner atau perantara (intermediary). Dengan dilibatkannya perbankan syariah dalam pembiayaan megaproyek pemerintah, diharapkan industri perbankan syariah akan semakin berkembang.
Kemudian, sebagai pemegang kendali kebijakan moneter, Bank Indonesia juga dapat mengambil langkah yang sama. Namun, disesuaikan dengan praktik internasional bank sentral yang secara khusus hanya memfokuskan diri pada pengendalian moneter tanpa berperan ganda sebagai lembaga komersial. Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan pemerintah dalam kerangka kebijakan moneter Islami.
Bagaimana caranya? Dalam makalahnya, Towards the Foundation of Islamic Macroeconomics (2004), Mabid Al-Jarhi, mantan direktur Islamic Research and Training Institute (IRTI) IDB, menyebutkan bahwa bank sentral dapat menciptakan instrumen Central Bank Investment Account dengan misalnya menggunakan skema equity based investment (mudarabah dan musyarakah). Dana yang dihimpun oleh instrumen moneter syariah ini, selain akan menyerap kelebihan likuiditas, juga dapat disalurkan pada bank-bank syariah untuk membiayai kegiatan sektor riil.
Namun, dikarenakan Bank Indonesia bukanlah lembaga komersial yang dapat menempatkan dana pada bank umum syariah, maka penempatan dana yang dimaksud dapat dialihkan pada pemerintah melalui pembelian sukuk atau surat berharga syariah lainnya. Tentu saja bagi pemerintah, dana tersebut akan memperkuat alokasi anggaran pembangunan pemerintah.
Keuntungan yang diperoleh dapat dibagi bersama antara pemerintah dan BI. Pada akhirnya pemilik surat berharga bank sentral juga akan menikmati bagi hasil tersebut.
Ada beberapa kelebihan pendekatan ekonomi Islam di atas. Pertama, pemerintah mempunyai otoritas dan kemampuan lebih dibandingkan bank syariah maupun bank konvensional untuk menyerap dan mengelola ekses likuiditas dalam jumlah besar. Kedua, jaminan pengelolaan dana oleh pemerintah memberikan kepastian bagi para investor ketimbang dikelola oleh swasta.
Ketiga, kurang optimalnya fungsi intermediasi perbankan dapat diatasi melalui peran pemerintah sehingga masalah ekses likuiditas dapat diselesaikan dan aktivitas riil perekonomian mendapatkan dana sesuai yang diharapkan. Terakhir, semakin maraknya instrumen investasi syariah dan keterlibatan bank syariah di dalamnya akan berdampak pada semakin berkembangnya industri perbankan syariah, pasar keuangan syariah, asuransi syariah, dan lembaga keuangan syariah lainnya. Peran dan kontribusi bank syariah pastinya akan semakin bertambah pada masa mendatang.
Ikhtisar:
- Ada banyak keuntungan melaksanakan ekonomi syariah.
- Pemerintah dapat menyerap kelebihan likuiditas melalui instrumen surat berharga Islami.
- Masyarakat akan banyak merasakan manfaat bila ada investasi yang bersifat tradable.
Sumber: Republika, Senin, 11 Februari 2008.

0 komentar:

  © Blogger template Inspiration by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP